Friday, January 14, 2011

Pintu Itu Bernama Memiliki

Pintu itu bernama memiliki. Saat negeri ini kian terpuruk dengan masalah-masalah yang tak kunjung bersolusi, manusianya tak sadar-sadar juga, bahwa masalah itu perlu segera diakhiri. Masalah ada bukan malah terselesaikan pasti, tetapi penutupan masalah dengan masalah lain menjadi hal yang dimaklumi. Masalah saat ini akan terakumulasi yang setiap saat bisa meledak, dengan dampak lebih besar, jauh diluar perkiraan. Kasus korupsi yang menimpa bangsa ini memang sudah ada sejak negeri ini ada. Sampai saat ini, korupsi kian parah, kian merajalela, dari mikro sampai makro, dari utara sampai selatan, dari kebarat-baratan sampai kejahiliyahan. Korupsi menjadi trend baru dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Korupsi sudah diresistensikan menjadi hal yang biasa terjadi. Saat seseorang mengambil harta milik rakyat, mereka anggap bahwa harta itu adalah rejekinya, bahwa harta itu adalah miliknya, dengan kontribusinya yang bisa jadi harus dipertanyakan kemurniannya. Mereka lupa bahwa amanah yang diberikan telah digerogoti, diselewengkan satu per satu dengan dalih kesejahterahan diri, kesejahterahan golongan, kesejaterahan keluarga. Lupa bahwa yang dimiliki adalah hak yang seharusnya diterima oleh bangsa Indonesia, rakyat negeri ini. Barangkali rasa memiliki bangsa ini telah pudar, telah hilang bersama kejumudan akan tak berhentinnya masalah di negeri ini, tidak adanya perbaikan di negeri ini. Memang kebertepatan generasi ini adalah sebagai pengubah arah yang lebih baik lagi dari generasi selanjutnya, sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan. Harapan itu tetaplah ada. Harapan bahwa kita masih memiliki kepribadian khas yang harus diperjuangkan menjadi bahan bakar pemacu setiap perubahan ke nilai-nilai yang lebih bermoral. Bahwa betul, sila pertama pancasila kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Memang sudah selayaknya, pintu itu bernama memiliki. Memiliki rasa bahwa bangsa ini adalah milik kita bersama untuk kesejahterahan bersama.

Pintu itu bernama memilki. Saat semangat mulai rapuh berorganisasi. Tak ada ruh yang menyemangati. Hari-hari menjadi waktu yang sangat membosankan, tanpa tujuan, tanpa target. Ketemu staf maupun sahabat sevisipun di organisasi terasa hambar, hampa tanpa rasa. Kegiatan-kegiatan yang diamanahkan bukan lagi menjadi ladang amal, tetapi menjadi ladang beban, semakin menghilangkan ruh untuk berkontribusi. Menjadikan agenda-agenda harian terasa penat, terasa bosan. Barangkali rasa memiliki organisasi itu sudah kian terkikis. Tak ada lagi kesenangan dengan tempat kita bersemayam. Tidak ada lagi gairah ditempat kita yang seharusnya bisa mengukir karya-karya besar kita. Tidak ada lagi ghirah perubahan dan pengejawantahan visi dan misi serta gerak langkah ruh organisasi. Hal itu terkikis dengan ego dan kesombongan yang mulai menjangkiti. Iri hati karena tak berprestasi. Lupa hakekat bahwa amal selalu berawal dari niat. Dan yang seharusnya diniatkan adalah karena mencari ridho Allah swt. Rasa memilki itu telah hilang, digantikan hanya dengan bualan sampah untuk mendapatkan sanjungan dari manusia yang semakin mengotori hati dengan riya’ yang menjijikan. Rasa memiliki itu kian hilang bersama tak terakomodasinya aktualisasi diri. Rasa memiliki itu hilang telah tertutup dengan perasaan-perasaan keakuan dan kesombongan.

Pintu itu bernama memiliki. Kadang kita lupa, ada beberapa orang disisi sana yang sangat cinta kepada kita. Ada orang disana yang sangat menunggu kabar-baik dari kita. Ada orang disana yang setia menunggu kabar berita dari kita, entah senang, sedih, banyak uang, sedikit uang, banyak masalah, atau apalah yang akan dibawa kesana. Ada pula orang disana yang siap menerima segala keluh peluh kita. Ada orang disana yang selalu saja meneteskan air mata, disaat kepergian kita, melepas kita untuk hidup lebih berpisah jauh tanpa tahu kapan akan kembali. Ada orang disana yang sebenarnya cinta, tapi karena ungkapan cintanya tidak sesuai menurut kita, akhirnya kita sangsi dengan output cintanya berbuah bahagia. Orang disana itulah keluarga. Rasa memiliki keluarga itu sekarang kian luntur dengan pergaulan yang kita lakukan. Kecintaan kita pada teman seringkali berlebihan-lebihan, mengenyampingkan keluarga kita yang sebenarnya sangat setia melebihi siapapun di dunia ini. Waktu kian habis, tidak ada lagi prioritas untuk keluarga. Barangkali hanya sekedar untuk menceritakan kegiatan seharian kita secara sekilas, ngapain saja, ketemu siapa, atau malah tidak ada sama sekali ibrah yang bisa kita tularkan kepada keluarga kita yang lain.Sungguh naif. Rasa memiliki keluraga itu kian hilang bersama terakomodasinya kebutuhan hiburan kita dengan apa yang ada disekitar kita. Dan rasa memiliki itu akan terasa saat semuanya sudah tidak ada lagi didepan mata, jauh meninggalkan kita.

Pintu itu bernama memiliki. Seringnya kita bosan dengan kehidupan ini. Kaki melangkah tak tentu arah. Mata menatap terasa buram. Fikiran terasa sangat tertutup. Refreshingpun bukan lagi menjadi hal yang positif, karena lingkungan disekitar kita tidak lagi kondusif, sesuai dengan keadaan yang kita inginkan. Kita lupa akan sahabat-sahabat kita yang pernah terjalin. Kita lupa bahwa kita memiliki teman yang seharusnya kita rawat silaturahimnya, kita jalin kembali persaudaraan yang terputus lama, kita jenguk dirinya saat sakinya, kita doakan kebaikannya atas karunia iman yang diberikan Allah SWT kepada kita semua. Tapi seringanya rasa memiliki sahabat itu sering hilang bersama kesibukan kita. Senyumnya tak lagi menyemangati hari-hari kita. SMS penyemangatnya tak lagi mempan mengingatkan sahabatnya ini untuk berbenah lebih baik. Cintanya tak lagi bisa menyentuh, merasuk ke dalam hati. Kebesaran hati untuk mempunyai rasa memiliki adalah satu pertanda bahwa disekitar kehidupan kita banyak orang sebenarnya yang kita punyai untuk disyukuri.

Pintu itu bernama memiliki. Karena manusianya dari fitrahnya diciptakan lemah. Maka sudah seharusnya menyadari kelemahan dirinya, sehingga sifat sombong, menolak kebenaran dan merendahkan orang lain itu tidak dapat merasuki hatinya. Pintu selalu ada untuk dibuka, kemudian menjadi jalan masuk ke tempat didalamnya. Sehingga memiliki sudah seharunya menjadi rasa yang menjiwai setiap langkah manusia sejati, karena Allah memberikan karunia untuk dimiliki manusia, tetapi hanya sementara dan akan kembali kepada pemilik yang hakiki. Seperti yang tercatat dalam Al Quran, semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

No comments:

Post a Comment